Selasa, 01 Maret 2011

Anestesi Lokal

Bab II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1       Pengertian Anastesi Lokal
            Anastesi lokal ialah obat yang menghasilkan blockade konduksi atau blockade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifir. Anastesi lokal setelah keluar dari sraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Semua obat anestetik lokal baru adalah sebagai rekayasa obat lama yang dianggap masih mempunyai kekurangan-kekurangan.
            Kokain adalah obat anastetik pertama yang dibuat dari daun koka dan dibuat pertama kali pada 1884. Pengguanaa kokain aman hanya untuk anastetia topical. Penggunaan secara sistemik akan menyebabkan dampak samping keracunan system saraf, system kardiosirkulasi, ketagihan, sehingga dibatasi pembuatannya hanya untuk topical mata, hidung, dan tenggorokan.
2.2       Struktur Anestetik Lokal
            Anastetik lokal ialah gabungan dari garam larut dalam air dan alkaloid larut dalam lemak dan terdiri dari bagian kepala cincin aromatic tak jenuh bersifat lipofilik, bagian badan sebagai penghubung terdiri dari cincin hidrokarbon dan bagian ekor yang terdiri dari amino tersier bersifat hidrolifik.

1.      Bagian Lipofilik
Biasanya terdiri dari cincin aromatic (benzene ring) tak jenuh, misalnya PABA (para-amino-benzoic acid). Bagian ini sangat essensial untuk aktivitas anestesi.
2.      Bagian Hidrofilik
Biasanya golongan amino tersier (dietil-amin)

Anastetik lokal dibagi menjadi dua golongan
1.   Golongan Ester (-COOC-)
Kokain, benzokain (amerikain), ametocaine, prokain (novocaine), tetrakain (pontocaine), kloroprokain (nesacaine).
2.      Golongan Amida (-NHCO-)
Lidokain (xylocaine, lignocaine), mepivakain (carbocaine), prilokain (citanest), bupivacain (marcaine), etidokain (duranest), dibukain (nupercaine), ropivakain (naropin), levobupivacaine (chirocaine).

2.3              Mekanisme Kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel), mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal erja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan mac, minimum alveolar concentration) dipengaruhi oleh :
1.      Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf.
2.      pH (asidosis menghambat blockade saraf).
3.      Frekuensi stimulasi saraf.

Mula kerja  bergantung beberapa faktor, yaitu:
1.      pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat.
2.      Alkalinisasi anestetika lokal membuat mula kerja cepat.
3.      Konsentrasi obat anestetika lokal.

Lama kerja dipengaruhi oleh:
1.      Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika lokal adalah protein.
2.      Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi.
3.      Dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah pemberian.

2.4              Farmakokinetik
A.     Absorpsi
Sistemik dipengaruhi oleh:
1)      Tempat suntikan
Kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi tempat suntikan: absorbsi intervena > trakeal > interkostal > kaudal > para-servikal > epidural > pleksus brakial > skiatik > subkutan.
2)      Penambahan vasokonstriktor
Adrenalin 5 µg/ml atau 1:200.000 membuat vasokontriksi pembuluh darah pada tempat suntikan sehingga dapat memperlambat absorpsi sampai 50%.
3)      Karakteristik obat anestesi lokal
Obat anestei lokal terikat kuat pada jaringan sehingga dapat diabsorpsi secara lambat.
B.     Distribusi  
Dipengaruhi oleh ambilan organ (organ uptake) dan ditentukan oleh faktor-faktor:

1)      Perfusi jaringan.
2)      Koefisien partisi jaringan/darah
      Ikatan kuat dengan protein plasma               obat lebih lama didarah.
      Kelarutan dalam lemak tinggi           meningkatkan ambilan jaringan.
3)      Masa jaringan.
      Otot merupakan tempat reservoir bagi anestika lokal.

C.     Metabolisme dan Eksresi
1)      Golongan ester
Metabolism oleh enzim pseudo-kolinesterase (kolinesterase plasma). Hidrolisa ester sangat cepat dan kemudian metabolit dieksresi melalui urin.
2)      Golongan amida
Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal di hati. Kecepatan metabolism tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal. Metabolismenya lebih lambat dari hidrolosa ester. Metabolit dieksresi lewat urin dan sebagian kecil dieksresi dalam bentuh utuh.

2.5              Indikasi Anestesi Lokal
1.      Jika nyawa penderita dalam bahaya karena kehilangan kesadarannya, sebagai contoh sumbatan pernapasan atau infeksi paru.
2.      Kedaruratan karena tidak ada waktu untuk mengurangi bahaya anestesi umum. Hal ini dapat terjadi pada beberapa kasus, seperti “lambung penuh”, dan pertus obstetric operatif, dan pada kasus-kasus diabetes, miatenia gravis, penyakit sel bulan sabit, usia yang sangat lanjut, atau debil, serta pembedahan yang lama pada reimplantasi jari-jari yang cedera.
3.      Menghindari bahaya pemberian obat anestesi umum. Sebagai contoh pada porfiria intermiten akut, anestesi dengan halotan berulang, miotonia, dan gagal ginjal atau hepar.
4.      Prosedur yang membutuhkan kerja sama dengan penderita, seperti pada perbaikan tendo, pembedahan mata, serta pemeriksaan gerakan faring.
5.      Lesi superfisialis minor dan permukaan tubuh, seperti ekstrasi gigi tanpa penyulit, lesi kulit, laserasi minor, dan revisi jaringan parut.
6.      Pemberian analgesi pascabedah. Contoh utama adalah sirkumsisi, torakotomi, herniorafi, tempat donor cangkok kulit, serta pembedahan abdomen.
7.      Untuk menimbulkan hambatan simpatik, seperti pada free flap atau pembedahan reimplantasi, atau iskemia ekstremitas.
8.      Jika penderita atau ahli bedah atau ahli anestesi lebih memakai anestesi lokal serta dapat meyakinkan para pihak lainnya bahwa anestesi lokal saja sudah cukup.
2.6              Kontraindikasi Terhadap Anestesi Lokal
1.      Alergi atau hipersensitivitas terhadap obat anestesi lokal yang telah diketahui.
2.      Kurangnya tenaga terampil yang mampu mengatasi dan atau mendukung teknik tertenbtu.
3.      Kurangnya prasarana resusitasi
4.      Infeksi lokal atau iskemia pada tempat suntikan.
5.      Pembedahan luas yang membutuhkan dosis toksis anestesi lokal.
6.      Distorsi anatomic atau pembentukan sikatriks.
7.      Resiko hematoma pada tempat-tempat tertentu (sebagai contoh ruang epidura) akibat pengobatan dengan antikoagulan, kecenderungan pendarahan, atau hemophilia.
8.      Jika dibutuhkan anestesu segera ( sebagai contoh partus sungsang yang terhambat) atau tidak cukup waktu bagi anestesi lokal untuk bekerja dengan sempurna.
9.      Kurangnya kereja sama atau tidak adanya persetujuan dari pihak penderita.

2.7              Efek Samping Terhadap Sistem Tubuh
A.     Sistem Kardiovaskular
·        Depresi automatisasi miokard.
·        Depresi kontraktilitas miokard.
·        Dilatasi arteriolar.
·        Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/kolaps sirkulasi.
B.     Sistem Pernapasan
Relaksasi otot polos bronkus. Henti napas akibat paralise saraf frenikus, paralise interkostal atau depresi langsung pusat pengaturan napas.
C.     Sistem Saraf Pusat (SSP)
SSP rentan terhadap toksisitas anesthesia lokal, dengan tanda-tanda awal parestesia lidah, pusing, kepala terasa ringan, tidak sadar, konvulsi, koma. Tambahan adrenalin beresiko kerusakan saraf.
D.     Imunologi
Golongan ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan derivate para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai allergen.
E.      Sistem musculoskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Tambahan adrenalin beresiko kerusakan saraf. Regenerasi dalam waktu 3-4 minggu.



2.8              Anestetik Lokal yang Ideal
1.      Poten dan bersifat sementara (reversible).
2.      Tak menimbulkan reaksi lokal, sistemik atau alergik.
3.      Mula kerja cepat dengan durasi memuaskan.
4.      Stabil, dapat disterilkan.
5.      Harganya murah.

Toksisitas bergantung pada:
1.      Jumlah larutan yang disuntikan.
2.      Konsentrasi obat.
3.      Ada tidaknya adrenalin.
4.      Vaskularisasi tempat suntikan.
5.      Absorbsi obat.
6.      Hipersensitivitas.
7.      Usia.
8.      Keadaan umum.
9.      Berat badan.
10.  Laju destruksi obat.

Beberapa anestetik lokal yang sering digunakan:
1.      Kokain
·        Hanya dijumpai dalam bentuk topical semprot 4% untuk mukosa jalan napas atas. Lama kerja 2-30 menit.
2.      Prokain (novokain)
·        Untuk infiltrasi: larutan 0,25-0,5%
·        Blok saraf: 1-2 %.
·        Dosis 15 mg/kgBB dan lama kerja 30-60 menit.
3.      Kloropokain (nesakain)
·        Derivate prokain dengan masa kerja lebih pendek.
4.      Lidokain (lignocaine,xylocain,lidonest)
·        Konsentrasi efektif minimal 0,25%
·        Infiltrasi, mula kerja 10 menit, relaksasi otot cukup baik.
·        Kerja sekitar 1-1,5 jam tergantunbg konsentrasi larutan.
5.      Larutan standar 1 atau 1.5% nuntuk blok perifer
·        0.25-0.5% + adrenalin 200.000 untuk inflitrasi.
·        0.5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik
·        1.0% untuk blok motorik dan sensoris
·        2.0% untuk blok motorik pasien berotor (muscular)
·        4.0% atau 10% untuk topical semprot farinf laring (pump spray)
·        5.0% untuk jeli untuk dioleska di pipa trakea
·        5.0% lidokain dicampur 5.0% prilokain untuk topical kulit
·        5.0% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subaraknoid, subdural).
6.      Bupivakain (marcain)
·        Konsentrasi efektif minimal 0.125%
·        Mula kerja lebih lambat disbanding lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.
·        Setelah suntikan kaudal, epidural, atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam.
·        Untuk anesthesia spinal 0.5 % volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik.
·        Untuk blok sensorik epidural 0.375% dan pembedahan 0.75 %.
7.      EMLA (eutectic mixture of local anesthetic)
·        Campuran emulsi minyak dalam air (krem) antara lidokain dan prilokain masing-masing 2.5% atau masing-masing 5%. EMLA dioleskan dikulit intak 1-2 jam sebelum tindakan untuk mengurangi nyeri akibat kanulasi pada vena atau arteri atau untuk miringotomi pada anak, mencabut bulu halus atau buang tato. Tidak dianjurkan untuk mukosa atau kulit terluka.
8.      Ropivakain (naropin) dan levobupivakain (chirocain)
·        Penggunaannya seperti bupivakain, karena kedua obat tersebut merupakan isomer bagian kiri dari bupivakain yang dampak sampingnya lebih ringan dibandingkan bupivakain. Bagian isomer konsentrasi efektif minimal 0.25%

DAFTAR PUSTAKA

Thomas dan Colin.1994. Anestesologi. Jakarta:Egc.
Said A. Latif, Ruswan Dachlan, dan Kartini. 2002.  Anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI

Riwayat Alamiah Penyakit

Bab I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
            Penyakit merupakan salah satu gangguan kehidupan manusia yang telah dikenal orang sejak dulu. Pada mulanya, konsep terjadinya didasarkan pada adanya gangguan makhlus halus atau karena kemurkaan dari yang maha pencipta. Hingga saat ini, masih banyak kelompok masyarakat di Negara berkembang yang menganut konsep tersebut. Di lain pihak ada gangguan kesehatan/penyakit yang belum jelas penyebab nya, maupun proses kejadian.
            Pada tahap berikut nya, Hippocrates telah mengembangkan teori bahwa timbul nya disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang meliputi air, udara, tanah, cuaca, dan lain sebagainya. Namun demikian dalam teori tidak dijelaskan bagaimana kedudukan mansia dalam interaksi tersebut, serta tidak dijelaskan faktor lingkungan bagaimana yang dapat menimbulkan penyakit.
            Ternyata setelah penyakit menular mulai dapat diatasi pada negra-negara maju, muncullah masalah berbagai penyakit menahun/tidak menular yang unsure dan faktor penyebab nya sangat berkaitan erat dengan faal tubuh, mutasi dan sifat resistensi tubuh. Dan pada umumnya terdiri dari berbagai faktor yang saling kait-mengait. Keadaan ini sangat erat hubungan nya dengan berbagai pengamatan epidemiologi terhadap gangguan kesehatan.




1.2       Permasalahan
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalahan, antara lain sebagai berikut:
1.      Bagaimana proses perkembangan penyakit?
2.      Bagaimana pola penyebaran penyakit?
3.      Apa manfaat riwayat alamiah?

1.3              Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Memahami proses perkembangan penyakit.
2.      Memahami pola penyebaran penyakit.
3.      Memahami manfaat riwayat alamiah.













Bab II

PEMBAHASAN

2.1       Proses Perkembangan Penyakit
            Kejadian penyakit, tidak terkecuali penyakit akut (mendadak) mempunyai masa perlangsunganb tersendiri. Bagaimanapun mendadaknya, perlu waktu, yang memang mungkin singkat, untuk tercetusnya suatu penyakit. Dalam mengetahui keberadaan (diagnosis) penyakit, diperlukan perhatian dan perhitungan terhadap faktor waktu perlangsungan penyakit, diinginkan untuk melakukan diagnosis benar, tepat waktu ataupun secepatnya.
            Untuk membuat diagnosis, salah satu hal yang perlu diketahui adalah riwayat alamiah penyakit (Natural history of disease). Riwayat alamiah suatu penyakit adalah perkembangan penyakit itu tanpa campur tangan medis atau bentuk intervensi lainnya sehingga suatu penyakit berlangsung secara alamiah (Fletcher,22).

2.2       Tahapan Riwayat Alamiah
            Riwayat alamiah suatu penyakit pada umunnya melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a.       Tahap prepatogenesis
b.      Tahap pathogenesis
c.       Tahap pasca pathogenesis, yang dapat bverlanjut menjadi beberapa kemungkinan berupa: sembuh, perlangsunbgan kronik, cacat, dan mati.

Uraian masing-masing tahap itu adalah sebagai berikut:
a.       Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/ sehat tetapiu mereka pada dasarnya peka terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit (stage of susceptibility). Walaupun demikian pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi ini masih terjadi diluar lubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada di luar tubuh penjamu dimana para kuman mengembangkan potensi infektifitas, siap menyerang penjamu. Pada tahap ini belum ada tanda-tanda sakit sampai sejauh daya tahan tubuh penjamu masih kuat. Namun begitu penjamu nya ‘lengah’ ataupun memang bibit penyakit menjadi lebih ganas, ditambah dengan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan penjamu, maka keadaan segera dapat berubah. Penyakit akan melanjutkan perjalanan memasuki fase berikutnya, tahap pathogenesis.

b.      Tahap Patogenesis
Tahap ini meliputi 4 sub-tahap yaitu: tahap inkubasi, tahap dini, tahap lanjut, tahap akhir.
·        Tahap inkubasi
Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi ini bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya. Dan pengetahuan tentang lamanya masa inkubasi ini sangat penting, tidak sekadar sebagai pengetahuan riwayat penyakit, tetapi berguna untuk informasi diagnosis. Setiap penyakit mempunyai masa inkubasi tersendiri, dan pengetahuan masa inkubasi dapat dipakai untuk identifikasi jenis penyakit nya.

·        Tahap Dini
Tahap ini mulai dengan munculnya gejala penyakit yang kelihatannya ringan. Tahap ini sudah mulai menjadi masalah kesehatan karena sudah ada gangguan patologis (pathologic changes), walaupun penyakit masih dalam masa subklinik ( stage of subclinical disease). Seandainya memungkinkan, pada tahap ini sudah diharapkan diagnosis dapat ditegakkan secara dini.

·        Tahap Lanjut
Merupakan tahap dimana penyakit bertambah jelas dan mungkin tambah berat dengan segala kelainan patologis dan gejalanya (stage of subclinic disease). Pada tahap ini sudah menunjukkan gejala dan kelainan klinik yang jelas, sehingga diagnosis sudah relative ditegakkan, diperlukan pengobatan yang tepat untuk menghindari akibat lanjut yang kurang baik.

·        Tahap Akhir
Berakhirnya perjalanan penyakit dapat berada dalam lima pilihan keadaaan, yaitu:
1)      Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh menjadi pulih, sehat kembali.
2)      Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang, penyakit sudah tidak ada, tetapi tubuh tidak pulih sepenuhnya, meninggalkan bekas gangguan yang permanen berupa cacat.
3)      Kerier, dimana tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap ada dalam tubuh tanpa memperlihatkan gangguan penyakit.
4)      Penyakit tetap berlangsung secara kronik.
5)      Berakhir dengan kematian.





2.3       Pola Penyebaran Penyakit

            Suatu penyakit (menular) tidak hanya selesai setelah membuat seseorang sakit, tetapi cenderung untuk menyebar. Setelah menyelesaikan riwayatnya pada suatu rangkaian kejadian sehingga seseorang jatuh sakit, pada sat yang sama penyakit bersama dengan kumannya dapat berpindah dan menyebar kepada orang lain/ masyarakat.
            Dalam proses perjalanan penyakit, kuman memulai aksinya dengan memasuki pintu masuk tertentu (portal of entry) calon penderita baru dan kemudian jika ingin berpindah ke penderita baru lagi akan ke luar melalui pintu tertentu (portal of exit).
            Kuman penyakit tidak masuk dan keluar begitu saja tetapi harus melalui “pintu” tubuh tertentu sesuai dengan jenis masing-masing penyakit misalnya melalui: kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih. Dalam memilih pintu masuk-keluar ini setiap jenis kuman mempunyai jalan masuk dan keluar tersendiri dari tubuh manusia. Ada yang masuk melalui mulut (oral) dan keluar melalui dubur (system pencernaan), seperti yang dilakukan oleh kebnyakan cacing. Namun ada pula yang masuk melalui kulit tetapi keluar melalui dubur, misalnya cacing Ankylostoma.
            Pengetahuan tentang jalan masuk ini penting untuk epidemiologi karena dengan pengetahuan itu dapat dilakukan penghadangan perjalanan kuman masuk ke dalam tubuh manusia. Cacing yang ingin masuk melalui mulut dicegah dengan upaya cuci tangan sebelum makan. Sedangkan pengetahuan tentang jalan keluar bermanfaat untuk menemukan kuman itu untuk tujuan identifikasi atau diagnosis. Misalnya kuman TBC keluar melalui batuk maka penemuan kuman TBC dilakukan dengan penangkapan kuman nya di batuk/dahak.




2.4       Manfaat Riwayat Alamiah.

            Dari riwayat alamiah penyakit diperoleh beberapa informasi penting seperti:
1.      Masa inkubasi atau masa latent, masa atau waktu yang diperlukan selama perjalanan suatu penyakit untuk menyebabkan seseorang jatuh sakit.
2.      Kelengkapan keluhan (symptom) yang menjadi bahan informasi dalam menegakan diagnosis.
3.      Lamanya dan beratnya keluhan dialami oleh seorang penderita.
4.      Kejadian penyakit menurut musim (season) kapan penyakit itu lebih frekuen kejadiannya.
5.      Kecenderungan lokasi geografis serangan penyakit sehingga dapat dengan mudah dideteksi lokasi kejadian penyakit.
6.      Sifat-sifat biologis kuman pathogen sehingga menjadi bahan informasi untuk pencegahan penyakit, khususnya untuk pembunuhan kuman penyebab.

Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit merupakan langkah awal yang perlu dilakukan untuk mengetahui aspek-aspek lain yang terkait dengan penyakit. Dengan engetahui riwayat alamiah dapat ditarik beberapa manfaat seperti:

1.      Untuk diagnostic: masa inkubasi dapat dipakai sebagai pedoman penetuan jenis penyakit, misalnya jika terjadi KLB (kejadian luar biasa).
2.      Untuk pencegahan: dengan mengetahui kuman pathogen penyebab dan rantai perjalanan penyakit dapat dengan mudah dicari titik potong yang penting dalam upaya pencegahan penyakit. Dengan mengetahui riwayat pencegahan penyakit dapat terlihat apakah penyakit itu perlangsungannya akut ataukah kronik. Tentu berbeda upaya pencegahan yang diperlukan untuk penyakit yang akut disbanding dengan yang kronik.

3.      Untuk terapi: intervensi atau terapi hendaknya biasanya diarahkan ke fase paling awal. Pada tahap perjalanan awal penyakit itu terapi tepat sudah duberikan. Lebih awal terapi akan lebih baik hasil yang diharapkan. Keterlambatan diagnosis akan berkaitan dengan keterlambatan terapi.


























Bab III

PENUTUP


3.1           Kesimpulan

1.      Dalam proses perkembangan penyakit diperlukan perhatian dan perhitungan terhadap faktor waktu perlangsungan penyakit, diinginkan untuk melakukan diagnosis benar, tepat waktu ataupun secepatnya.
2.      Pola penyebaran penyakit Suatu penyakit (menular) tidak hanya selesai setelah membuat seseorang sakit, tetapi cenderung untuk menyebar. Setelah menyelesaikan riwayatnya pada suatu rangkaian kejadian sehingga seseorang jatuh sakit, pada sat yang sama penyakit bersama dengan kumannya dapat berpindah dan menyebar kepada orang lain/ masyarakat.
3.      Manfaat riwayat penyakit adalah untuk diagnostic, untuk pencegahan, dan untuk terapi.

3.2              Saran
            Dari pembahasan tentang riwayat alamiah penyakit kita dapat mengetahui pola penyebaran penyakit. Kita dapat menekan suatu penyakit agar tidak menjadi  penyakit menular. Dengan pengetahuan tentang manfaat riwayat alamiah penyakit kita dapat mengetahui informasi tentang aspek-aspek yang terkait dengan penyakit.




DAFTAR PUSTAKA


Bustan, M.N. 1997. Pengantar Epidemiologi. Rineka Cipta: Jakarta.
Bustan, M.N.2006. Pengantar Epidemiologi, Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta.
Nasri, Noor,1997. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta: Jakarta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta:Jakarta.